Masyarakat tidak melakukan pembukuan keuangan maka dikenakan pajak final | PT Solid Gold Berjangka Pusat
Jika dalam profesi pekerja seni peran, tentu ada pengeluaran untuk membeli alat make-up atau baju pendukung untuk menunjang kariernya. Sehingga penghasilan yang ia dapatkan dikurangi biaya kebutuhannya tersebut, barulah hasil pengurangan tersebut yang dikenakan pajak.
Jika seseorang pekerja seni peran berpenghasilan Rp500 juta melakukan pembukuan, Rp500 juta tersebut dikurangi biaya kebutuhannya Rp150 juta. Maka sisanya yang Rp350 juta itulah yang akan dikalikan tarif norma, lalu dikurangi PTKP kemudian dikalikan lagi tarif PPh 25 persen maka yang dibayarkan sebesar Rp205.250.000.
"Kalau pakai pembukuan otomatis lebih kecil karena sudah dikurangi biaya. Saya minta masyarakat semua profesi memahami," ujarnya.
"Kalau tanpa pembukuan jatuhnya memang lebih mahal saat penghitungan," kata Ken dalam acara pertemuan media dengan tema Sinergi Demi Reformasi di Belitung, Minggu, 16 April 2017
Menurut Ken, jika telah melakukan pembukuan, pajak yang disetorkan bisa jadi lebih kecil. Karena dalam pembukuan, penghasilan yang didapat telah dikurangi pengeluaran.
Rumusannya yaitu (tarif normal x (penghasilan yang telah dikenai biaya atau pengeluaran) - penghasilan tidak kena pajak atau PTKP x tarif pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh).
Yakni dengan rumus (tarif normal x penghasilan) - penghasilan tidak kena pajak (PTKP) x tarif pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh). Ia memberi contoh salah satu profesi seperti pekerja seni peran yang berpenghasilan per tahunnya Rp500 juta.
Lalu dari angka tersebut dikenakan tarif normal 62,5 persen dan tarif PPh untuk orang pribadi berdasarkan besaran penghasilan hingga Rp500 juta yakni 25 persen, dengan PTKP Rp54 juta. Artinya (62,5 persen x Rp500 juta) - Rp54 juta x 25 persen = Rp299 juta.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengimbau kepada masyarakat dari berbagai profesi untuk melakukan pembukuan keuangan secara berkala. Pembukuan ini berguna agar pembayaran pajak menjadi lebih mudah dan lebih murah.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, jika masyarakat tidak melakukan pembukuan keuangan maka dikenakan pajak final berdasarkan formula yang telah dirumuskan otoritas pajak dan diatur dalam Perdirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2015.
Ditjen Pajak: Google Jangan Hitung Pajak Seenaknya M| PT Solid Gold Berjangka Pusat
Direktur Eksekutif lembaga Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo bilang, persoalannya saat ini adalah Ditjen pajak mau menarik GAP sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia walau tidak menjalankan bisnis melalui PT GI dengan mengaitkan adanya server dan lain-lain.
Namun demikian, hal ini menurut Yustinus tidak bisa dilakukan karena terhalang dengan tax treaty antara Indonesia dan Singapura sehingga tidak memungkinkan Indonesia menarik laba usaha yang menjadi haknya Singapura.
Ken mengatakan, hal itu bukanlah sebuah halangan, “Ada kok tarifnya (dalam treaty). Biasa namanya WP bilang gitu, bilang ngaco, itu sama aja di seluruh dunia begitu, karena gak ada yang rela bayar. Pajak di seluruh dunia dibilang ngaco,” katanya.
Iya tapi mereka harus nurut juga terhadap peraturan pajak di Indonesia dong. Menghitung juga nggak bisa seenaknya,” ujarnya di Belitung, Minggu.
Asal tahu saja, pajak yang dipatok oleh pemerintah sebelumnya untuk Google mencapai Rp 450 miliar per tahun. Ini dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh Google di kisaran Rp 1,6 triliun hingga Rp 1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas penghasilan sekitar Rp 5 triliun per tahun.
Adapun pada dokumen pajak Google lainnya yang disimak oleh KONTAN, Google Asia Pacific Pte. Ltd (GAP) membukukan total pendapatan sebesar US$ 109.2 juta yang didapat dari klien di Indonesia pada tahun 2015 di mana 10 besar klien Indonesia berkontribusi sebesar 55% dari pendapatan atau sebesar US$ 60 juta.
Merespon angka dari Google, Ken masih belum pasti akan penghitungan dari pihaknya. Yang jelas, Ken mengimbau perusahaan tersebut untuk tidak melakukan perhitungan dengan seenaknya.
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi bilang, pihaknya sudah melihat angka pembukuan dari Google. Dalam dokumen pajak auditan Ernst & Young LLP terbitan 11 Februari 2016 yang disimak oleh KONTAN, tertera bahwa PT GoogleIndonesia (PT GI) telah membayar pajak pada tahun 2015 sebesar Rp 5.2 miliar atau 25% dari penghasilan kena pajak (taxable income) sebesar Rp 20.88 miliar.
Pada tahun 2015, PT GI sendiri membukukan pendapatan sebesar Rp 187.5 miliar. Pembayaran pajak pada tahun 2015 ini memang turun dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 7.7 miliar dari penghasilan kena pajak sebesar Rp 30.7 miliar.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mendapatkan dokumen pajak Google yang telah diaudit. Namun, hingga saat ini pemerintah belum menemukan angka besaran pajak yang harus dibayarkan oleh Google nantinya.
DJP ingin penghitungan pajak final basis Pembukuan | PT Solid Gold Berjangka Pusat
Rumusnya yakni menggunakan Norma Penghasilan, yaitu tarif norma dikali penghasilan. Kemudian hasilnya dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Lalu dikalikan dengan tarif pasal 17 UU Pajak Penghasilan (PPh).
Tarif dari masing-masing profesi sendiri sudah diatur apabila tidak memberi pembukuan. “Misalnya artis. Artis kena tarif 50% kalau tidak punya pembukuan. 50% itu dikalikan penghasilan yang katakanlah Rp 1 miliar, berarti Rp 500 juta. Lalu dikurangi PTKP 4,5 juta. Kemudian dikali (tarif) pasal 17,” jelasnya.
Sementara, jika mereka melakukan pembukuan, Ken bilang bisa jadi pajak yang disetorkan lebih kecil karena penghasilan sudah dikurangi dengan biaya. Biaya yang dimaksud misalnya untuk profesi artis, pengeluaran untuk membeli alat make up atau baju pendukung untuk saat tampil atau sepatu dan lain sebagainya.
"Kalau pakai pembukuan otomatis lebih kecil karena sudah dikurangi biaya. Kalau gak ya penghasilan saja, besar dong,” ucapnya.
Kalau kontraktor itu rugi, kena pajak gak? Kena tetap 2,5%. Tapi kalau dia ada pembukuan, nggak. Makanya ini kita mau pikir lagi gimana kalau konstruksi itu pakai pembukuan, gak usah final,” ucapnya.
Ia juga meminta kepada seluruh masyarakat dari berbagai profesi, untuk membuat pembukuan terkait keuangannya. Pasalnya, ada beberapa masyarakat yang merasa bahwa setelah amnesti pajak malah takut.
Ken mengatakan, yang perlu takut kena tarif besar dalam hal ini adalah WP yang tidak punya pembukuan keuangan. Jika masyarakat tidak melakukan pembukuan maka akan dikenakan pajak final berdasarkan formula yang telah dirumuskan otoritas pajak dan diatur dalam Perdirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2015.
“Kalau tidak punya data (pembukuan), UU pajak memberi kami wewenang untuk menghitung. Menghitungnya pakai rumus. ” kata Ken.
“Kontraktor, real estate, meskipun menggunakan pembukuan tetapi kena PPh Final 2,5% itu salah, makanya harus kita ubah. Properti kan bagus, tapi pajaknya gak pernah bagus,” katanya di Belitung, Minggu (16/4).
Ia bilang, bila penghitungan dilakukan dengan PPh Final, kontraktor yang rugi tetap dikenakan pajak. Di sisi lain, kontraktor yang besar akan diuntungkan karena meskipun labanya besar, mereka hanya dikenakan tarif yang kecil yaitu 2,5%/
Guna memudahkan penghitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan ingin mengajukan perubahan aturan bagi beberapa sektor yang saat ini dikenakan PPh final seperti properti dan konstruksi
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi menilai bahwa basis penghitungan pajak bagi sektor-sektor yang dikenakan PPh final ini lebih baik menggunakan basis pembukuan.
Solid Gold Berjangka