Posted by PT Solid Gold Berjangka News on Jumat, 09 September 2016
Arrmanatha Nasir memapar sejumlah agenda pembicaraan kedua presiden | PT. Solid Gold Berjangka Cabang Jakarta
Lepas dari blusukan yang sepertinya dijaga sebagai ciri khas sosok Jokowi, kepada Mehulika Sitepu dari BBC Indonesia, juru bicara kementerian luar negeri, Arrmanatha Nasir memapar sejumlah agenda pembicaraan kedua presiden.
Presiden Joko Widodo membawa Presiden Filipina blusukan di Pasar Tanah Abang, sementara para pegiat mengecam Duterte dan Kepala BNN Budi Waseso dan sejumlah anggota DPR yang menyerukan agar langkah keras Duterte menumpas narkotika ditiru.
"Antara lain tentang penuntasan kasus 177 WNI calon jemaah haji yang ditangkap di Filipina karena menggunakan paspor Filipina palsu, dan tentang kerjasama kemaritiman, mengingat dalam beberapa waktu terakhir sejumlah awak kapal Indonesia dibajak di sekitar perairan Filipina sebelum dibawa oleh para penculiknya ke Filipina Selatan," papar Arrmanatha Nasir.
Saat Presiden Jokowi mengajak Presiden Duterte blusukan, sejumlah pegiat hak asasi manusia menggelar acara yang mengecam langkah-langkah Presiden Duterte yang dinilai melakukan pembunuhan di luar proses hukum.
Tentang seruan beberapa kalangan agar Indonesia meniru Presiden Duterte dalam menumpas narkoba dengan langkah-langkah kontroversialnya, Arrmanatha Natsir menjawab, "Kita punya hukum sendiri, dan tentu akan selalu bertindak menurut hukum kita."
Pekan lalu, Kepala Badan Nasional anti-Narkotika (BNN) Budi Waseso, dikutip berbagai media mengatakan, Indonesia perlu meniru Filipina. "Jika kebijakan seperti itu diterapkan maka kami yakin, bandar dan pengguna narkoba di negeri tercinta ini akan menurun drastis," kata Budi Waseso seperti dikutip Kompas.
Hal senada diungkapkan anggota Komisi III DPR | PT. Solid Gold Berjangka Cabang Jakarta
“Ketegasan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam mempertahankan kebijakan tembak mati penjahat narkoba patut ditiru Presiden Joko Widodo, karena ini menyangkut masa depan anak bangsa dan masa depan Indonesia kedepan,” kata politikus PKS itu dalam pernyataannya kepada wartawan beberapa waktu. Sebaliknya, para pegiat HAM justru melontarkan kecaman mereka.
Putri Kanesia mengingatkan, pembunuhan di luar proses hukum itu sangat rawan dengan penyalah-gunaan, salah sasaran, salah tembak, dan lain-lain. "Yang perlu diberantas adalah menghentikan peredaran narkoba, bukan membunuh orang-orang sekadar karena diduga terlibat dalam jaringan narkoba."
Perwakilan Indonesia dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penghapusan Hukuman Mati di ASEAN (CADPA) menggelar jumpa pers khusus terkait kunjungan Duterte. Putri Kanesia, dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), yang terlibat dalam CADPA menegaskan, "apa yang dilakukan Duterte merupakan bentuk pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killings). Bagaimana mungkin pemerintah menyetujui pembunuhan terhadap warga negaranya tanpa melalui pengadilan kendati atas nama pemberantasan narkoba."
Ia mengecam pula seruan Kepala BNN Budi Waseso dan anggota DPR yang menginginkan Indonesia meniru langkah Duterte.
"Membunuh tanpa proses peradilan merupakan kebrutalan negara, dan merupakan tindakan pidana. Jika Indonesia mengikuti cara Duterte menangani masalah narkoba dengan menembak begitu saja para pengguna/pengedar narkoba tanpa melalui proses hukum, itu berarti negara melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap warganya," kata Putri, kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia.
Salah satu terpidana mati kasus narkoba adalah warga Filipina, Mary Jane Veloso, yang diyakini sebagai korban yang diepralat sindikat internasional.
Ia mengingatkan, bahkan hukuman mati berdasarkan proses pengadilan pun, harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan HAM dan prinsip hukum modern. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, sudah berlangsung tiga gelombang eksekusi hukuman mati untuk para terpidana kasus narkoba. Menurut para pegiat HAM, sebagian di antaranya merupakan korban proses peradilan yang keliru.